Meski memberhentikan Anwar Usman, MKMK tidak mengubah putusan MK terkait batas usia pencalonan Capres-cawapres.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK pada Selasa (07/11), setelah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.
“Menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan keseataraan, independensi dan kepantasan dan kesopanan,” kata Ketua MKMK, Jimly Asshidiqqie, dalam pembacaan putusannya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (07/11)
Dengan pembuktian ini, MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman dari jabatan ketua MK.
“Memerintahkan wakil ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2×24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pemimpin yang baru, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah Jimly.
Selain itu, kata Jimly, Anwar Usman juga tidak berhak mencalonkan diri, atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi, sampai masa jabatan hakim terlapor sebagai hakim konstitusi berakhir.
“Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri, dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam pekara perselisihan hasil pemilu, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” kata mantan ketua MK periode 2003-2008.
Namun, terdapat dissenting opinion yang disampaikan oleh anggota MKMK, Bintan R. Saragih, yang menurutnya sanksi yang dijatuhkan kepada ipar Jokowi tersebut sebagai “diberhentikan dengan tidak hormat.”
Secara keseluruhan, MKMK memeriksa 11 isu pelanggaran etik hakim MK terkait putusan batas usia capres-cawapres yang akhirnya membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024 di umur 36 tahun.
Kesebelas isu itu mencakup soal Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang tak mengundurkan diri saat memutus perkara 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Isu ini menjadi persoalan karena Anwar merupakan ipar Jokowi, yang berarti juga paman dari Gibran. Dengan demikian, Anwar sebenarnya memiliki konflik kepentingan.
Masalah lainnya mencakup kebohongan Anwar dan dugaan pembiaran delapan hakim konstitusi lain ketika sang ketua MK turut memutus perkara walau terdapat potensi konflik kepentingan.
Dari 21 laporan, MKMK menjadikan empat putusan yang dibaca, Selasa (07/11). Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan, pihaknya menjadikan 4 putusan untuk efisiensi.
Menjelang pembacaan putusan MKMK, ratusan orang menggelar aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, yang berlokasi di dekat Gedung MK.
Namun, keputusan MKMK ini tidak menyentuh “perkara 90” yang menuai polemik. Perkara yang diputuskan oleh Anwar Usman ini mengenai syarat capres-cawapres di bawah usia 40 tahun selama bakal calon berpengalaman sebagai kepala daerah.
“Majelis kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, keputusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU/XXI/2023,” tambah Jimly.
Selain itu, penggunaan Undang Undang Kekuasaan Kehakiman tidak relevan digunakan dalam putusan ini.
Salah satu pasalnya, menyebutkan bahwa hakim terbukti melanggar konflik kepentingan bisa langsung diberi sanksi, dan memerintahkan pemeriksaan kembali perkara yang sama dengan yang sudah diputus sebelumnya tanpa hakim melibatkan yang memiliki konflik kepentingan.
“Tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang undang terhadap Undang Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi,” tambah Jimly.
MKMK juga memutuskan seluruh hakim konstitusi terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi terkait dengan dugaan kebocoran rapat tertutup, serta praktik pelanggaran berbenturan kepentingan sudah menjadi kebiasaan yang wajar, dan tidak ada saling mengingatkan antar hakim.
Dalam konteks perkara ini, seluruh hakim konstitusi dikenakan sanksi teguran lisan.
Walau tak dapat mengubah putusan MK terkait batas usia capres, hasil sidang MKMK ini dianggap penting untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Sejumlah pengamat memang menganggap kepercayaan publik terhadap MK tergerus akibat putusan batas usia capres-cawapres lalu.
Jimly mengatakan kepercayaan publik ini penting, terutama menjelang pemilu mendatang. Pasalnya, MK berwenang untuk memutus kasus jika muncul perselisihan hasil pemilu nantinya.
“Ini dampaknya panjang kalau MK tidak dipercaya, hasil pemilihan umum ini nanti enggak dipercaya. Dalam peralihan kepemimpinan, negara bisa chaos. Jadi enggak boleh main-main,” kata Jimly.