Kabupaten Bandung – Dede Koswara membuktikan petani merupakan pilihan profesi yang menjanjikan buat milenial. Pria 31 tahun itu mendulang indahnya kehidupan sejahtera dari hasil bertani selama lebih dari 10 tahun.
Sejak lulus Sekolah Teknik Mesin (STM), Dede mantap memilih jalan hidup sebagai petani. Berbekal lahan 100 tumbak (setara 1.400 meter) yang diberikan orang tua, ia menghasilkan pundi-pundi dengan menanam sayur-sayuran.
Diakui Dede, keberhasilannya menjadi petani melalui proses panjang. Agar bisa berkembang, ia mempelajari seluk beluk pertanian hingga distribusinya ke pasar, sehingga mendapatkan harga beli yang cukup tinggi.
Ayah dua orang anak ini menegaskan sekalipun mendapatkan bantuan dari orang tua berupa lahan, bukan berarti mudah untuk memperoleh kesuksesan. Dede berjuang keras menggarap lahan untuk mendapatkan hasil panen berkualitas baik yang dibantu dua pegawainya. Ia juga berkonsultasi dengan orang-orang dari perusahaan pupuk untuk mempelajari komposisi dan cara penggunaan pupuk yang tepat untuk setiap komoditas.
Ia juga memasarkannya sendiri ke pasar-pasar di Tangerang, Cibitung, Cirebon, dan wilayah lainnya dengan mengendarai mobil pikap seorang diri. Dede membangun koneksinya dengan para pelaku pertanian dan perdagangan dengan mengikuti seminar, pertemuan, dan bergabung di grup Facebook.
Relasi yang dibangun itu membuka peluang buat Dede untuk memasarkan produknya secara luas. Pesanan labu acar pertama didapatkan Dede dari seorang anggota salah satu grup Facebook yang diikutinya. Pesanan tersebut akhirnya membuka jalinan kerja sama hingga saat ini.
“Jadi kebanyakan orang tuh ngeliat enak orang tuanya ada (berkecukupan), dikasih modal. Kita dikasih juga kalau nggak bisa mengelola, nggak akan bisa berhasil. Saya dari 0 terjun dulu, punya 2 orang pegawai, saya sering sharing dengan perusahaan sharing sama petani, (lalu) diterapin di kebun sendiri,” cerita Dede kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Selain mempelajari dengan detail bidang pertanian hingga pemasaran, Dede juga memperluas diversifikasi komoditas. Awalnya ia hanya menanam tomat, lalu ditambah cabai, kol. Sejak lima tahun belakangan, karena melihat tingginya permintaan, ia menanam dan memasarkan labu siam atau biasa disebut labu acar di Jawa Barat.
Ia mengatakan budidaya labu tidaklah membutuhkan cara yang rumit, namun butuh ketelatenan. Langkah pertama yakni menyiapkan paranggong (susunan bambu untuk media tempat labu merambat), baru setelah itu tanam bibit dan diberi pupuk.
“Kalau labu itu mesti ada air terus. Jadi paling bagus itu kalau nanamnya di jalur irigasi, jadi walaupun kemarau ada terus airnya,” jelasnya.
Bertani labu ternyata mendatangkan keuntungan besar buat Dede. Ia pun membentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Regge, yang menaungi para pengepul atau beci serta petani di wilayah Kecamatan Pasirjambu, Bandung, Jawa Barat.
Dalam sehari, Dede bisa menjual 20-40 ton labu acar ke pasar-pasar di berbagai daerah. Omzet yang didapatkan berkisar Rp 50-100 juta. Kini ia pun bisa mencicipi jerih payahnya selama ini. Rumah seharga Rp 2,5 miliar dan kendaraan mewah bisa dimilikinya dari menjadi petani labu siam.
“Prinsip saya tuh mikirnya gini, satu tetes dari 100 lubang kecil bisa lebih cepet untuk penuh kolamnya, daripada satu gede, bilamana terhambat, ngga akan penuh. (Dengan diversifikasi pangan) kita terhambat satu bisa tetap banyak. Bila ke pasar, ada komoditi rugi, ada komoditi lain, bisa ada lebihnya,” papar Dede.
Saat ini, Dede bersama Gapoktan Regge merambah ke budidaya paprika. Mereka mendapatkan kepercayaan dari BRI untuk menjalankan program inkubator. BRI memfasilitas green house untuk budidaya paprika Gapoktan Regge.
Sumber : https://finance.detik.com/